LMKN Tegaskan: Putar Suara Burung dan Alam Tetap Harus Bayar Royalti

Royalti Musik Berlaku untuk Semua Rekaman, Termasuk Suara Burung dan Alam

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, kembali menegaskan bahwa suara alam dan kicauan burung tetap dikenai kewajiban membayar royalti jika digunakan secara komersial. Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas tren sejumlah kafe dan restoran yang menggunakan rekaman suara alam untuk menghindari kewajiban royalti musik.

Dalam wawancara via telepon dengan Kompas.com pada Senin (4/8/2025), Dharma menjelaskan bahwa meskipun bukan musik dalam arti tradisional, rekaman suara alam tetap masuk dalam kategori fonogram yang dilindungi hak terkait. Produser rekaman suara tersebut berhak mendapatkan royalti jika karyanya digunakan di ruang publik atau untuk kepentingan usaha.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,”
kata Dharma.
“Ada hak terkait di situ, ada produser yang merekam,” lanjutnya.

Narasi “Bebas Royalti” Dinilai Keliru dan Menyesatkan

Dharma juga menanggapi maraknya narasi yang menyebut kewajiban membayar royalti musik sebagai bentuk pembatasan atau ancaman terhadap pelaku usaha kecil seperti kafe dan restoran. Menurutnya, narasi seperti ini tidak berdasar dan cenderung disebarkan tanpa pemahaman terhadap regulasi hak cipta yang berlaku.

“Harus bayar dong, itu ada hak pencipta. Itu Undang-Undang. Bagaimana kita pakai sebagai menu tapi enggak mau bayar? Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi,” ujarnya.

“Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali. Karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang. Bahkan belum bayar, udah kembangkan narasi seperti itu,” tegas Dharma.

Tarif Royalti Sudah Diatur, UMKM Dapat Keringanan

Tarif royalti untuk restoran dan kafe telah ditetapkan melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yang mengatur besaran royalti untuk pemanfaatan komersial lagu dan fonogram. Dalam aturan tersebut, pelaku usaha wajib membayar Rp 60.000 per kursi per tahun untuk royalti pencipta, dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk hak terkait.

Dharma juga menegaskan bahwa LMKN memperhitungkan kondisi UMKM dalam penetapan tarif dan skema pembayaran.

“Kami juga memperhitungkan UMKM, satu tahun itu kami tidak hitung 365 hari penuh karena kami tahu ada bulan puasa,” jelasnya.

Pentingnya Menghargai Hak Cipta dan Patuh Hukum

Pernyataan Dharma Oratmangun kembali mengingatkan pentingnya menghormati hak cipta dalam bentuk apa pun, termasuk rekaman suara alam. Penggunaan karya orang lain, baik berupa lagu maupun rekaman suara lainnya, tetap membutuhkan izin dan pembayaran royalti sebagai bentuk penghargaan terhadap pemilik hak.

“Kami memberikan kemudahan untuk berusaha. Kalau usaha itu sehat, tentunya pemilik hak juga akan sehat. Jangan gunakan atau rampas hak milik orang lain untuk meraih keuntungan, itu tidak baik. Patuh hukum, selesai,” tutupnya.

Scroll to Top