Perlunya Revisi Aturan Royalti Musik

Isu mengenai tata kelola royalti musik kembali menjadi sorotan setelah para ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai perlunya perubahan regulasi yang lebih adil dan transparan. Dalam seminar nasional di Fakultas Hukum UGM, Prof. M. Hawin menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) 2021 dan Permenkumham 2025 belum sepenuhnya mencerminkan prinsip fair use dalam Undang-Undang Hak Cipta 2014. Menurutnya, beberapa ketentuan masih perlu ditinjau ulang, terutama terkait kewajiban pembayaran royalti di ranah publik seperti seminar, rumah sakit, pertunjukan gratis, warung kecil, dan musisi jalanan.
Selain itu, Prof. Hawin juga menyoroti peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK/CMO) di era digital. Ia menekankan agar kewenangan LMK dibatasi, khususnya dalam pengelolaan lisensi sinkronisasi yang sebaiknya tetap ditangani langsung oleh pemegang hak cipta. Langkah ini dinilai dapat mengurangi tumpang tindih kewenangan sekaligus memperluas ruang penerapan fair use di bidang musik.
Perspektif Internasional dan Peran Pemerintah
Pandangan tersebut turut diperkuat oleh Prof. David Price dari Charles Darwin University, Australia, yang membandingkan sistem pengelolaan royalti di berbagai negara. Ia menilai Indonesia bisa mengadopsi praktik terbaik, seperti menetapkan standar minimum bagi platform musik digital, mekanisme takedown yang efisien, sanksi tegas, serta prosedur klaim sederhana. Menurutnya, tata kelola royalti musik yang transparan akan memperkuat perlindungan hak cipta dan menjaga ekosistem musik tetap sehat di era digital.
Dari sisi regulasi, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi hak ekonomi para pencipta. Ia menyebut pentingnya sinergi antara pemerintah, LMK, dan pengguna hak cipta agar implementasi Permenkumham No. 27 Tahun 2025 dapat memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan musisi.
Pandangan Seniman dan Tantangan Royalti
Musisi sekaligus anggota DPR RI, Once Mekel, juga menyuarakan pandangannya. Ia menekankan bahwa tata kelola LMK dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) harus dijalankan secara profesional dan transparan untuk melindungi hak ekonomi pencipta lagu. Menurut Once, selama 34 tahun sistem pemungutan royalti di Indonesia belum berjalan efektif, sehingga perlu ada langkah konkret seperti memperkuat LMKN sebagai badan pusat atau membatasi LMK agar hanya fokus pada pendaftaran dan representasi anggota.
Sementara itu, Agung Damarsasongko selaku Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI menambahkan bahwa pemerintah telah menyiapkan Pusat Data Lagu Nasional (PDLN) sebagai upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Namun, ia mengakui tantangan besar masih ada, antara lain skema tarif royalti yang belum adil, rendahnya kepatuhan pengguna, serta kurangnya transparansi dan modernisasi sistem distribusi berbasis digital.
Menuju Tata Kelola Royalti Musik yang Lebih Baik
Dengan adanya masukan dari akademisi, praktisi hukum, pemerintah, hingga seniman, tata kelola royalti musik di Indonesia diharapkan bisa lebih adil, transparan, dan berpihak pada kesejahteraan para pencipta. Perubahan regulasi dinilai penting agar hak cipta benar-benar terlindungi, tanpa menghambat akses publik terhadap musik.