Kemenkum Sempat Jadi Sasaran Kritik Publik
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengungkapkan bahwa Kementerian Hukum sempat menjadi sasaran kritik publik terkait polemik penarikan royalti musik di Indonesia. Selama kurang lebih satu bulan, kementeriannya disebut “dirujak” meski tidak memiliki kepentingan langsung dalam urusan royalti.

“Beberapa waktu lalu terkait royalti sempat menghangat, bahkan Menteri Hukum, saya, selalu bilang, kurang lebih sebulan kami dirujak, padahal Menteri Hukum tidak punya kepentingan apa-apa soal royalti,” kata Supratman di Graha Pengayoman Kemenkum, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Pemerintah Pahami Kritik dan Dukung Industri Kreatif
Meski mendapat banyak sorotan, Supratman menegaskan pemerintah tidak merasa tersinggung. Menurutnya, kritik dan amarah publik justru menjadi bagian dari proses memperbaiki ekosistem industri kreatif.
“Kami sadar sepenuhnya bahwa industri kreatif itu menjadi pusat pertumbuhan bagi negara-negara maju,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa kementeriannya berkoordinasi dengan lintas kementerian untuk menyiapkan platform yang memungkinkan kekayaan intelektual dijadikan jaminan aset dalam mengajukan kredit bank.
Rp 10 Triliun Dialokasikan untuk Pembiayaan Kekayaan Intelektual
Supratman juga menyinggung adanya rencana alokasi dana minimal Rp 10 triliun yang disiapkan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung pembiayaan berbasis kekayaan intelektual.
“Mudah-mudahan tahun ini atau paling lambat tahun depan, maka minimal Rp 10 triliun akan dialokasikan untuk pembiayaan bagi intelektual properti bisa dijadikan collateral,” ucapnya.
Polemik Royalti Musik Masih Jadi Perhatian
Sebelumnya, aturan terkait pembayaran royalti musik untuk penggunaan komersial, seperti di kafe dan restoran, menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha. Beberapa pengusaha bahkan memilih mengganti lagu lokal dengan musik instrumental atau lagu berbahasa asing untuk menghindari potensi sanksi.
Namun, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa semua jenis musik tetap dikenakan royalti, termasuk rekaman suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air. Ia juga menambahkan bahwa Indonesia terikat dengan perjanjian internasional, sehingga pemutaran lagu-lagu luar negeri juga wajib membayar royalti.
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma.